Belas Kasihan dan Selembar Kertas
Sudah tak asing rasanya telinga ini untuk menerima suatu kata belas kasihan. Di mana maknanya yang banyak di cari oleh pemalas negri ini. Ini berlaku dalam proses pendidikan formal, di mana mayoritas hanya menginginkan selembar kertas daripada makna pendidikan yang sesungguhnya. Miris? tentu tidak karena hal tersebut sudah membudaya dari menyimpangnya budaya.
Dari sekian penyesalan yang aku sesali, mengapa aku termasuk dalam perputaran itu. Aku masuk dalam lingkup pemalas yang mencari makna belas kasihan untuk selembar kertas. Lingkup penyimpangan yang mereka anggap suatu jalan yang benar. Jika pertanyaannya salah siapa? tentu jawabannya tak bisa sepenuhnya menyalahkan si pemalas. Banyak faktor yang menyebabkan fenomena menyimpang ini terjadi. Dari pertama kita diperkenalkan dengan alphabet, sudah ditanamkan dalam mindset kita “sayang, belajar yang rajin, biar nanti kamu bisa jadi sarjana”. Bukankah sarjana hanya embel-embel. Embel-embel hanya bermanfaat untuk lingkup diri, itupun jika bukan karena belas kasihan. Sedangkan yang bermanfaat dalam lingkup luas adalah makna dari sarjana bukan title sarjananya. Namun maknanya kadang malah menyimpang tatkala orientasi hanya pada ilmu dunia dan penghidupan.
Dalam lingkup pendidikan masa kini, hanya segelintir yang peduli akan apa yang ia sampaikan, “sebagiannya” lagi lebih peduli akan kenyamanan diri dan tanggung jawab atas penglihatan masyarakat luas. Segelintir menuruti nurani untuk mempertanggungjawabkan amanah Tuhan. Sebagian lain pandai menghibur, menghibur wali yang mencita-citakan buah hatinya untuk di beri selembar kertas dengan angka di atas kemampuan.
Lagi dan lagi ini bukan sepenuhnya keinginan nurani mereka. Nafsu liar wali akan tahta duniawi yang mereka cita-citakan untuk si buah hati andil dalam pengingkaran nurani mereka para pendidik negri.
Awal dari kebobrokan mental penerus perjuangan yang kompleks untuk ditelusur awal mula jalan ceritanya. Pandangan luas hanya nyinyir terhadap si pemalas tanpa menelusur lebih dalam sebab-musababnya. Mereka tak sadar mereka ikut serta dalam perusakan moral dan mental penerus negri, bahkan peran terbesarnya mungkin mereka yang menskenariokan.
Berbicara soal pengingkaran nurani, mungkin masing-masing peran harus kuat iman untuk tetap pada jalan nurani tanpa pengingkaran. Pendidik harus siap mendengar celoteh wali akan nafsu liar mereka(bukan malah memberi mereka kenyamanan yang menjerumuskan). Wali harus mikir, kenapa buah hatinya bobrok(jangan terus-terusan nuruti nafsu liar, dan menganggap si buah hati pintar). Si buah hati harus merenung, kenapa dia diberi nyawa, dari mana nyawa itu berasal, dan untuk apa dia diberi nyawa.
Perihal belas kasihan jelas ini adalah jalan untuk mencari ketentraman duniawi, sedangkan bukan tidak mungkin akan dipertanyakan di hari akhir nanti. Baik si “sebagian” maupun si “pemalas” mungkin akan mendapat perlakuan yang sama di hadapan Tuhan. Meraka yang aku sebut “sebagian” memberi goresan angka di atas kertas yang di atas kemampuan pula. Sedangkan mereka si pelaku juga berterima kasih akan hal itu. Ini terjadi karena mindset yang sudah mengakar dan bahkan sulit dicabut karena zona yang terlalu nyaman akan hal itu. Perlu bibit tanaman mindset, bukan untuk mengubah setidaknya untuk menambah. Bibit apa itu yang baru, yaitu tentang ending dari awal cerita “belas kasihan” tersebut. Akan ada berontak dari prediksi si pemalas akan akhir dari cerita “belas kasihan”. Sehingga nanti si “sebagian” tidak akan mendapat ketentraman dengan jalan “belas kasihan” yang mereka berikan karena “terima kasih” tidak akan mereka dapatkan lagi, melainkan mungkin malah cacian.
Skenario akan semakin rumit ketika jalan cerita telah mencapai akhir. Di mana angka atas ketidakmampuan benar-benar mereka rekayasa di atas selembar kertas atas persetujuan dari semua pihak(si sebagian, si pemalas, wali, maupun pendukung balik layar).
Ketika si pemalas benar-benar hidup(menentukan jalannya sendiri) dari hidup-hidupan(di bawah aturan orang tua). Akan ada penderitaan ketika nurani mereka diuji dalam sebuah proses jalan hidup yang sebenarnya(berperan sebagai manusia, bukan robot lagi). Atau jika tidak ingin menderita ya, harus tetap pada jalan pengingkaran akan nurani. Namun hal itu sulit kecuali bagi mereka yang memiliki warisan tahta.
Lalu bagaimana dengan mereka yang menentukan jalan hidupnya sendiri sedangkan dahulu pernah mengingkari nuraninya?. Ya kemungkinan mereka akan meniti jalan perjuangan dengan banyak masa-masa sulit. Ketika nurani sudah mereka ikuti mungkin mereka akan jatuh, tapi tak apa, bukankah itu kehendak mereka dahulu. Mau tidak mau si pemalas harus bangun sendiri dan berusaha, bersabar untuk menunggu rotasi kehidupan benar-benar membawa mereka ke bagian atas.
Dari fenomena di atas, seharusnya si pemalas lebih rajin lagi memaknai kata perjuangan daripada belas kasihan. Harap lebih memprediksi ending dari skenario daripada menikmati skenario. Agar kelak tahu, betapa berartinya makna perjuangan. Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Yang berperan sebagai “sebagian” juga mestinya tidak mengingkari nurani akan janji hati untuk berguna bagi nusa dan bangsa. Mesti lebih mengerti kondisi daripada mementingkan ketentraman duniawi. Bukankah ketentraman duniawi itu fana’ sifatnya.
Si wali juga semestinya belajar untuk tidak memikirkan ego mereka. Egoisme akan tahta yang mengangkat derajat mereka di mata khalayak(yang jelas bukan di hadapan Tuhan). Angka cantik pada selembar kertas yang mereka cita-citakan untuk buah hati tanpa sadar diri. Kenyamanan fana’ yang mereka agung-agungkan untuk dirasakan si buah hati. Sebenarnya hanya menggelincirkan mental si buah hati untuk hidup sebagai manusia. Mungkin ketika mereka masih hidup-hidupan, kebahagiaan luar biasa, kenyamanan luar biasa akan mereka dapatkan. Namun jika itu yang si wali dambakan, jika hanya selembar kertas yang mereka cita-citakan, apalagi hanya hasil belas kasihan. Tunggu saja saat si buah hati benar-benar menjadi manusia!!
Original image by pixabay.com |
Dalam lingkup pendidikan masa kini, hanya segelintir yang peduli akan apa yang ia sampaikan, “sebagiannya” lagi lebih peduli akan kenyamanan diri dan tanggung jawab atas penglihatan masyarakat luas. Segelintir menuruti nurani untuk mempertanggungjawabkan amanah Tuhan. Sebagian lain pandai menghibur, menghibur wali yang mencita-citakan buah hatinya untuk di beri selembar kertas dengan angka di atas kemampuan.
Lagi dan lagi ini bukan sepenuhnya keinginan nurani mereka. Nafsu liar wali akan tahta duniawi yang mereka cita-citakan untuk si buah hati andil dalam pengingkaran nurani mereka para pendidik negri.
Awal dari kebobrokan mental penerus perjuangan yang kompleks untuk ditelusur awal mula jalan ceritanya. Pandangan luas hanya nyinyir terhadap si pemalas tanpa menelusur lebih dalam sebab-musababnya. Mereka tak sadar mereka ikut serta dalam perusakan moral dan mental penerus negri, bahkan peran terbesarnya mungkin mereka yang menskenariokan.
Berbicara soal pengingkaran nurani, mungkin masing-masing peran harus kuat iman untuk tetap pada jalan nurani tanpa pengingkaran. Pendidik harus siap mendengar celoteh wali akan nafsu liar mereka(bukan malah memberi mereka kenyamanan yang menjerumuskan). Wali harus mikir, kenapa buah hatinya bobrok(jangan terus-terusan nuruti nafsu liar, dan menganggap si buah hati pintar). Si buah hati harus merenung, kenapa dia diberi nyawa, dari mana nyawa itu berasal, dan untuk apa dia diberi nyawa.
Perihal belas kasihan jelas ini adalah jalan untuk mencari ketentraman duniawi, sedangkan bukan tidak mungkin akan dipertanyakan di hari akhir nanti. Baik si “sebagian” maupun si “pemalas” mungkin akan mendapat perlakuan yang sama di hadapan Tuhan. Meraka yang aku sebut “sebagian” memberi goresan angka di atas kertas yang di atas kemampuan pula. Sedangkan mereka si pelaku juga berterima kasih akan hal itu. Ini terjadi karena mindset yang sudah mengakar dan bahkan sulit dicabut karena zona yang terlalu nyaman akan hal itu. Perlu bibit tanaman mindset, bukan untuk mengubah setidaknya untuk menambah. Bibit apa itu yang baru, yaitu tentang ending dari awal cerita “belas kasihan” tersebut. Akan ada berontak dari prediksi si pemalas akan akhir dari cerita “belas kasihan”. Sehingga nanti si “sebagian” tidak akan mendapat ketentraman dengan jalan “belas kasihan” yang mereka berikan karena “terima kasih” tidak akan mereka dapatkan lagi, melainkan mungkin malah cacian.
Skenario akan semakin rumit ketika jalan cerita telah mencapai akhir. Di mana angka atas ketidakmampuan benar-benar mereka rekayasa di atas selembar kertas atas persetujuan dari semua pihak(si sebagian, si pemalas, wali, maupun pendukung balik layar).
Ketika si pemalas benar-benar hidup(menentukan jalannya sendiri) dari hidup-hidupan(di bawah aturan orang tua). Akan ada penderitaan ketika nurani mereka diuji dalam sebuah proses jalan hidup yang sebenarnya(berperan sebagai manusia, bukan robot lagi). Atau jika tidak ingin menderita ya, harus tetap pada jalan pengingkaran akan nurani. Namun hal itu sulit kecuali bagi mereka yang memiliki warisan tahta.
Lalu bagaimana dengan mereka yang menentukan jalan hidupnya sendiri sedangkan dahulu pernah mengingkari nuraninya?. Ya kemungkinan mereka akan meniti jalan perjuangan dengan banyak masa-masa sulit. Ketika nurani sudah mereka ikuti mungkin mereka akan jatuh, tapi tak apa, bukankah itu kehendak mereka dahulu. Mau tidak mau si pemalas harus bangun sendiri dan berusaha, bersabar untuk menunggu rotasi kehidupan benar-benar membawa mereka ke bagian atas.
Dari fenomena di atas, seharusnya si pemalas lebih rajin lagi memaknai kata perjuangan daripada belas kasihan. Harap lebih memprediksi ending dari skenario daripada menikmati skenario. Agar kelak tahu, betapa berartinya makna perjuangan. Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Yang berperan sebagai “sebagian” juga mestinya tidak mengingkari nurani akan janji hati untuk berguna bagi nusa dan bangsa. Mesti lebih mengerti kondisi daripada mementingkan ketentraman duniawi. Bukankah ketentraman duniawi itu fana’ sifatnya.
Si wali juga semestinya belajar untuk tidak memikirkan ego mereka. Egoisme akan tahta yang mengangkat derajat mereka di mata khalayak(yang jelas bukan di hadapan Tuhan). Angka cantik pada selembar kertas yang mereka cita-citakan untuk buah hati tanpa sadar diri. Kenyamanan fana’ yang mereka agung-agungkan untuk dirasakan si buah hati. Sebenarnya hanya menggelincirkan mental si buah hati untuk hidup sebagai manusia. Mungkin ketika mereka masih hidup-hidupan, kebahagiaan luar biasa, kenyamanan luar biasa akan mereka dapatkan. Namun jika itu yang si wali dambakan, jika hanya selembar kertas yang mereka cita-citakan, apalagi hanya hasil belas kasihan. Tunggu saja saat si buah hati benar-benar menjadi manusia!!
Tangerang, 25 Juli 2018
Post a Comment for "Belas Kasihan dan Selembar Kertas"